Pamekasan, Transatu.id – Dugaan permainan pita cukai di wilayah Madura kembali mencuat. Kali ini, sorotan publik mengarah kepada jaringan bisnis rokok milik pengusaha ternama asal Lenteng, H. Yudik alias Sultan ABJ, yang diduga mengendalikan lebih dari sepuluh perusahaan rokok (PR), termasuk PR Aing Bening Jaya dan PR Putri Dina Diana.
Kedua perusahaan itu disebut-sebut aktif menebus pita cukai dalam jumlah besar, namun dengan legalitas dan kapasitas produksi yang masih diragukan.
Fakta ini memunculkan dugaan bahwa sebagian pita cukai digunakan sebagai kedok untuk melancarkan peredaran rokok ilegal tanpa cukai di pasar lokal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kalau kapasitas produksi tidak sebanding dengan pita yang ditebus, itu jelas janggal. Bisa jadi sebagian hasil produksinya tidak dilekati pita cukai resmi. Ini modus lama yang kini dikemas lebih rapi,” ungkap Sulaiman, aktivis kebijakan fiskal dan pertembakauan di Madura, Jumat (10/10/2025).
Menurutnya, fenomena seperti ini bukan kali pertama terjadi di Madura. Beberapa pabrik sebelumnya juga kedapatan menggunakan skema serupa menebus pita cukai dalam jumlah besar, sementara sebagian produk beredar di pasar tanpa label resmi.
“Modus seperti ini merugikan negara miliaran rupiah dan menghancurkan persaingan usaha yang sehat. Pabrik kecil yang taat aturan kalah bersaing karena harga rokok ilegal jauh lebih murah,” tambahnya.
Dari penelusuran lapangan, H. Yudik disebut memiliki pengaruh besar dalam jaringan industri rokok Madura, khususnya di wilayah Lenteng dan sekitarnya.
Sumber internal yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan bahwa sebagian besar aktivitas produksi di gudang-gudang milik jaringan H. Yudik tetap berjalan, meski terdapat indikasi pelanggaran izin pita cukai.
“Yang terjadi di PR Aing Bening Jaya seolah pengulangan pola lama. Mereka seolah punya ‘jalan tol’ untuk menebus pita cukai tanpa pengawasan berarti,” kata Sulaiman menegaskan.
Ia menambahkan, pengawasan dari Bea dan Cukai Madura terkesan lemah dan tidak seimbang antara pabrik besar dan kecil.
“Bea Cukai seperti hanya berani menindak pelaku kecil. Sementara pengusaha besar yang punya koneksi kuat seolah kebal hukum,” kritiknya tajam.
Kritik keras pun dialamatkan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Lembaga yang seharusnya menjadi benteng utama pemberantasan rokok ilegal dinilai tidak maksimal.
“Kalau aktivitas seperti ini bisa berjalan mulus tanpa hambatan, publik wajar curiga ada pembiaran, bahkan kemungkinan kolusi,” lanjut Sulaiman.
Ia mendesak Satgas Rokok Ilegal dan aparat penegak hukum turun tangan melakukan penyelidikan mendalam.
“Ini bukan lagi soal pelanggaran administrasi, tapi dugaan kejahatan terstruktur. Kalau benar satu orang bisa kendalikan lebih dari 10 pabrik dan bebas main di pita cukai, ini bahaya nasional,” ujarnya.
Permainan pita cukai bukan hanya soal kehilangan pendapatan negara. Menurut Sulaiman, dampaknya meluas ke aspek sosial dan ekonomi daerah.
“Rokok ilegal itu tidak hanya merugikan negara, tapi juga mematikan ribuan pekerja dari industri rokok legal. Para buruh pabrik kecil kehilangan pekerjaan, sementara pelaku besarnya menumpuk keuntungan,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa jika praktik semacam ini terus dibiarkan, Madura berpotensi menjadi pusat distribusi rokok ilegal nasional.
“Kerugian negara bukan hanya dalam bentuk rupiah, tapi juga kepercayaan publik terhadap penegakan hukum, Kini nama PR yang dihandle sultan ABJ sudah disetor ke Bea Cukai Jatim” tutupnya.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak Bea Cukai Madura belum memberikan keterangan resmi. Sementara Satgas Rokok Ilegal diharapkan segera melakukan penyelidikan lapangan guna memastikan dugaan keterlibatan jaringan besar di balik permainan pita cukai di Madura.