Bahkan per skala, nilai korupsi pun terus menggelembung; dari puluhan atau ratusan miliar di tahun-tahun terdahulu, menjadi puluhan dan ratusan triliun per hari-hari ini.
Dalam beberapa pekan terakhir ini saja, ruang publik nyata-nyata dijejali informasi dan berita tentang korupsi. Mulai dari anggaran untuk program Bantuan Sosial (Bansos). Dari total anggaran program Bansos sebesar 500 triliun, tak kurang dari separuhnya tidak tepat sasaran.
Korupsi di tubuh manajemen Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) merugikan negara Rp 11,7 triliun; korupsi di tubuh manajemen PT Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (ASDP) menyebabkan negara rugi Rp. 893 miliar. Kerugian negara dari kasus korupsi Jiwasraya mencapai Rp 16,8 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam kasus korupsi tata niaga timah, negara rugi sampai Rp.300 triliun. Dan, ruang publik pun akhirnya harus menerima ledakan dahsyat yang disulut oleh informasi tentang kasus mega korupsi terbaru, yakni kasus mengoplos bensin yang mengakibatkan kerugian negara sampai Rp 968,5 triliun. Dari mega kasus ini masyarakat sebagai konsumen pun jelas sangat dirugikan.
Di masa lalu, kasus mega korupsi yang menyita perhatian masyarakat dalam rentang waktu yang sangat lama adalah kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang diberikan Bank Indonesia kepada puluhan bank karena mengalami masalah likuiditas ketika terjadi krisis moneter 1998.
BI menyalurkan BLBI sampai Rp 147,7 triliun dan diterima 48 bank. Hasil audit BPK terhadap pemanfaatan dana BLBI oleh 48 bank itu mengindikasikan terjadinya penyimpangan sebesar Rp 138 triliun.
Selain kasus BLBI, k asus lainnya adalah korupsi pembiayaan proyek e-KTP pada rentang waktu 2010-2012. Dalam proyek ini, negara rugi Rp 2,314 triliun.
Tak hanya memprihatinkan, tetapi fakta-fakta ini sangat mengerikan, utamanya saat membayangkan masa depan anak-cucu bangsa.
Jika perilaku koruptif para oknum di K/L demikian ganas seperti sekarang ini, masih adakah harapan dan kemampuan untuk mewujudkan good governance? Model reformasi birokrasi seperti apa lagi yang dibutuhkan negara agar good governance itu bisa diwujudkan? Patut diingatkan lagi dan juga digarisbawahi bahwa kehendak bersama mewujudkan good governance tak boleh pupus, kendati terus menerus dirusak oleh perilaku tamak dan koruptif dari banyak oknum yang diberi amanah melaksanakan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) semua K/L dan Tupoksi semua pemerintah daerah.
Dalam konteks itu, semua K/L serta semua pemerintah daerah patut untuk membuka lagi, memahami dan memaknai pernyataan bernada imbauan dari Presiden Prabowo Subianto ketika memaparkan materi pembekalan di forum rapat pimpinan (Rapim) TNI-Polri di Jakarta, akhir Januari 2025.
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya