Oleh: Nazarman
(Ketua PWI Kab. Merangin)
Ternyata, semua kritik hanya bergema di ruang kosong. Bupati tetap kukuh dengan keputusannya: membeli mobil dinas baru. Tak peduli suara publik yang menolak, tak peduli kondisi keuangan daerah yang sedang megap-megap. Rupanya, gengsi lebih penting daripada empati.
Inilah wajah kekuasaan hari ini: tebal telinga, tipis rasa. Alih-alih menjadi pelayan rakyat, pemimpin berubah menjadi pelanggan fasilitas mewah. Roda empat berkilau kini menjadi prioritas, bahkan ketika jalan-jalan di pedesaan masih penuh lubang dan licin saat hujan datang.
Ini bukan soal satu mobil. Ini soal arah. Ketika pemimpin mengabaikan kritik dan bersikukuh dengan keputusan yang jelas-jelas tak berpihak pada rakyat, maka yang sedang dibangun bukan kepercayaan, tapi jarak. Jarak antara pemimpin dan warganya. Antara realitas dan ambisi pribadi.
Mobil baru mungkin akan membawa bupati melaju lebih cepat. Tapi ingat, kepercayaan publik yang rusak tidak bisa dibeli dengan anggaran. Dan suatu saat, mobil itu bisa menjadi monumen kecil dari kesalahan besar: bahwa di saat rakyat butuh pemimpin yang hadir dan sederhana, yang mereka dapat justru penguasa yang lebih sibuk mengkilapkan bodi mobilnya daripada mendengar suara dari bawah.
Mungkin bupati lupa: jabatan itu dipinjam, bukan diwarisi. Dan rakyat, meski diam hari ini, bisa bersuara lantang saat waktunya tiba.
Masih ada waktu untuk mendengar, untuk meralat langkah, dan kembali ke jalur yang berpihak pada rakyat. Karena sejatinya, kekuasaan yang paling kuat adalah yang dibangun dari kepercayaan, bukan dari kilau fasilitas.(*)