Lambat laun, ujaran kebencian yang diterima oleh penggemar K-pop tidak lagi sekadar tuaian kontra saja namun merujuk kepada tindak kekerasan berbasis gender dimana perempuan penggemar K-pop menjadi objek kekerasan tersebut dengan tujuan untuk balas dendam atau melampiaskan kemarahan. Berbagai ancaman buruk yang dapat membahayakan diri penggemar tersebut.
Pada tahun 2021 lalu, seorang penggemar musik K-pop asal Indonesia melakukan speak up terhadap kekerasan yang dialaminya karena ia adalah penggemar K-pop. Penggemar ini (JF) menerima ujaran kebencian dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dengan menyebarkan informasi hoax dan seolah-olah memperburuk citra fans K-pop di media sosial. Ia melawan hoax tersebut yang berakhir pada penyerangan kembali kepada dirinya yang membawa kehidupan pribadinya di luar konteks perdebatan tersebut.
Kondisi ini kemudian dapat dilihat dari kacamata feminisme. Feminisme pada dasarnya adalah sebuah teori dan kajian tentang gender yang menjunjung tinggi kesetaraan umat manusia, yaitu antara perempuan dan laki-laki. Teori ini berakar dari budaya patriarki yang mengakar dalam kehidupan masyarakat yang membawa perempuan pada tempat yang rendah. Stigmatisasi negatif terhadap perempuan penggemar K-pop yang identik dengan fanatis, tidak cerdas, dan memiliki IQ rendah menunjukkan bahwa pemikiran konvensional dan patriarkis tersebut masih hidup di tengah-tengah masyarakat. Anggapan terkait ‘perempuan lebih rendah’ dicerminkan melalui ujaran kebencian yang diterima oleh perempuan penggemar K-pop ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya