Adalah wajar jika pemilu yang dalam realitas politik berujung pada perebutan kekuasaan selalu diwarnai dengan kerasnya persaingan politik. Tetapi, jangan sampai pertarungan yang muncul menabrak koridor etika dan aturan politik, apalagi hukum.
Hal ini jangan menjadikan pesta demokrasi ini sebagai arena konflik kekuasaan yang menjatuhkan satu sama lain.
Persoalan tersebut perlu digarisbawahi karena fakta-fakta tersaji saat ini bukan sekadar sebatas saling serang di antara tim sukses atau pendukung masing-masing pasangan calon presiden, tapi banyak diwarnai cacimaki dan bahkan saling fitnah melalui informasi hoaks.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejak Era Reformasi di paruh awal 1998, Indonesia sudah melewati beberapa kali pemilu demokratis. Bahkan negeri ini sudah menahbiskan diri sebagai salah satu negeri demokrasi terbesar di dunia. Semestinya semua elemen bangsa mampu mendorong dinamika kemajuan kedewasaan berpolitik di Indonesia.
Bukan malah membiarkan pragmatisme mengendalikan politik, dan bahkan bersama-sama menjerumuskan demokrasi itu sendiri.
Harapan ini bisa terwujud jika aktor utama politik, tim kampanye, partai politik pendukung — berkomitmen bersama-sama menjaga koridor etika dan aturan main politik yang telah disepakati bersama. Dengan demikian, warna persaingan pilpres lebih didominasi adu gagasan dan program sehingga resonansi yang muncul di massa pendukung adalah rasionalitas, bukan emosionalitas.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya