Oleh Rusdy Setiawan Putra
(Wartawan Senior)
PADA tahun 1987, sekira bulan Agustus, saat pertama kali saya memasuki halaman kampus Universitas Nasional, di Pejaten, Pasarminggu, Jakarta Selatan. Pagi itu, cakrawala cerah, tidak ada awan hitam menggantung di langit. Sejauh mata memandang tampak terlihat langit biru lazuardi membentang dari barat ke timur, dan dari selatan ke utara. Cahaya matahari merata memenuhi ruang dan waktu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Saya bertemu dengan beberapa teman yang menyudut dan berbicara satu sama lain. Saya mendekati mereka dan ikut nimbrung bicara ngalor-ngidul. Terjadi komunikasi horizontal dalam kesetaraan dengan tema-tema politik, demokrasi, HAM, kontestasi dan lain-lain.
Ketika tiba berbicara terkait Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden (Pilpres), masing-masing punya pilihan yang berbeda. Suasana itulah yang sekarang terjadi di mana-mana di belahan bumi Indonesia.
Tapi, jika melihat dinamika politik saat ini— yang menjurus pada kompetisi pragmatis di antara pihak berbeda pilihan politik. Maka vibrasi dan aksentuasi pesan tersebut perlu didengungkan kembali, bahwa kita memang berbeda pilihan tapi tetap bersaudara dalam dinamika berdemokrasi.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya