Transatu.id,PAMEKASAN – Distribusi dokter yang tak merata di Indonesia jadi perbincangan hangat di berbagai kalangan.
Kurangnya tenaga medis ini dinilai jadi ketimpangan pelayanan kesehatan antara kota dan daerah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin menyebut Indonesia membutuhkan 160 ribu dokter baru agar memenuhi kriteria ideal WHO sebesar 1: 1000.
Acuannya, seorang dokter minimalnya melayani 1.000 penduduk.
Jika penduduk Indonesia 270 juta jiwa, maka minimal harus ada 270 ribu dokter di seluruh tanah air.
Merujuk data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), jumlah dokter saat ini terdapat sekitar 185 ribu dokter.
Rinciannya 142.558 dokter umum, 43.989 dokter spesialis, dan 39.738 dokter gigi.
Dari ratusan ribu dokter tersebut, keberadaannya tidak tersebar merata di berbagai daerah.
Pada umumnya terpusat di kota-kota besar, sehingga mendorong terjadi ketimpangan pelayanan kesehatan antara kota dan daerah.
Ketimpangan ini jelas berakibat fatal apabila terjadi peristiwa yang menguji kesiapan sektor kesehatan.
Seperti saat peningkatan kasus COVID-19 atau yang terbaru ketika terjadi lonjakan kasus gagal ginjal akut pada anak.
Meningkatnya kasus gagal ginjal akut ini semakin menyadarkan bahwa sesungguhnya jumlah dokter spesialis, khususnya spesialis anak subspesialis nefrologi, sangat kurang.
Ketimpangan ini menunjukkan perbedaan pelayanan kesehatan antara kota-daerah atau Jawa-luar Jawa yang menghambat laju pengobatan.
Persoalan ini akhirnya harus ditebus oleh peningkatan angka kematian pasien.
Paceklik dokter adalah salah satu tantangan sektor kesehatan yang tak kunjung terselesaikan secara tuntas di Indonesia.
Polemik ini hampir selalu ada sepanjang zaman.
Maka, untuk mengurai permasalahan ini, langkah terbaik yang jadi fokus pemerintah adalah mempercepat penambahan jumlah dokter.
Ketua Satgas Covid-19 RSUD SMART Pamekasan, dr Syaiful Hidayat memberikan solusi untuk mempercepat menambah jumlah kurangnya dokter di Indonesia ini.
Menurut Dokter berkacamata ini, pemberian beasiswa kedokteran dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pamekasan, Madura menjadi pemecah masalah kurangnya dokter di Indonesia.
Saran dia, program pemberian beasiswa kedokteran tersebut bisa ditiru daerah lain.
“Mungkin di daerah lain belum ada program yang seperti Pamekasan ini, yang mengalokasikan program beasiswa kedokteran kemitraan,” kata dr Syaiful Hidayat saat ditemui di kediamannya, Rabu (19/4/2023).
Penuturan Dokter spesialis penyakit paru ini, setiap tahun Pemkab Pamekasan mengirim siswa berpretasi untuk belajar di Universitas Airlangga Surabaya, Fakultas Kedokteran.
Kata dia, pogram pemberian beasiswa kedokteran dari Bupati Baddrut Tamam ini sudah dua tahun berjalan.
“Program ini bisa menjadi solusi untuk mengurangi kekurangan dokter di daerah, termasuk di Pamekasan,” sarannya.
Pengamatan dokter yang akrab disapa Yayak ini, di daerah pelosok Kabupaten Pamekasan, juga mengalami kekurangan dokter, terutama dokter spesialis.
Saran dia, untuk mengurai kekurangan dokter spesialis ini, Pemkab Pamekasan harus mengalokasikan anggaran untuk menyekolahkan mahasiswa khusus dokter spesialis melalui program pemberian beasiswa.
Sebab selama ini, Pemkab Pamekasan baru mencetuskan program pemberian beasiswa khusus dokter umum.
“Dokter spesialis ini dibiayai, dan nanti setelah lulus saat penempatan kerja insentifnya juga harus diperhatikan betul,” pesan Yayak.
Pendapat dokter yang menyabet penghargaan tokoh populer se Madura itu, selama ini banyak dokter spesialis yang setelah lulus tidak mau kembali dan bekerja ke daerah terpencil atau pelosok.
Kebanyakan dari mereka ingin bekerja di RSUD wilayah kota.
“Di Pamekasan saja banyak dokter spesialis tidak mau ditempatkan di RSUD Waru atau di Puskesmas Batumarmar. Mereka maunya kembali ke kota. Ini kendalanya terutama masalah insentif,” ungkap Yayak.
Keponakan Mahfud MD ini juga menyarankan berbagai Pemkab di Indonesia, khususnya di Pamekasan agar mengalokasikan anggaran khusus kesehatan yang digelontorkan dari anggaran pendapatan belanja daerah (APBD).
Misalnya mengalokasikan 10 persen dari APBD Pemkab untuk kesehatan yang dikhususkan penambahan insentif dokter yang bertugas di pelosok, pemberian beasiswa kedokteran, pengadaan alat kesehatan, pembangunan rumah sakit atau penambahan fasilitas kesehatan.
“Program beasiswa kedokteran ini sudah bagus tapi perlu terobosan baru lagi kedepannya,” pesan Yayak.
Tak hanya itu, Yayak juga mengamati, penyebab kurangnya dokter di Indonesia, karena sebagian masyarakat ketakutan jika anaknya masuk Fakultas Kedokteran biayanya mahal dan proses belajarnya lama.
“Itu banyak masyarakat yang berpikir demikian. Ini yang perlu dicarikan solusinya,” keluh Yayak.
Solusinya, lanjut Yayak, dalam setiap tahunnya, jumlah kuota pemberian beasiswa kedokteran harus ditambah.
Sehingga para orang tua dan siswa yang baru lulus sekolah akan berlomba – lomba untuk mendapatkan beasiswa kedokteran tersebut dan tidak pusing memikirkan biaya selama belajar di Fakultas Kedokteran yang dinilai mahal.
“Tetapi dengan pemberian beasiswa kedokteran itu harus ada ikatan kontrak. Kalau setelah lulus harus mengabdi ke daerah asal, kalau perlu PNS di daerah itu. Itu harus tertulis kontraknya,” saran Yayak lagi.
Kemudian, lanjut Yayak, setelah para mahasiswa ini lulus, jangan sekadar disuruh bekerja sebagai dokter saja.
Namun insentifnya juga diperhatikan, terutama bagi dokter yang bekerja di pelosok.
Pengalaman Yayak, selama ini di RSUS Waru Pamekasan, sekitar 10 tahun lebih kekurangan dokter, terutama kekurangan dokter spesialis.
Ini diakibatkan, setiap terdapat dokter yang ditempatkan tugas bekerja di RSUD Waru tersebut, sekitar dua bulan mengajukan pindah kerja ke RSUD kota.
“Hampir semuanya begitu karena insentifnya tidak setimpal dengan jarak tempuh dan tanggung jawab besar pekerjaan yang penuh risiko di daerah pelosok,” urainya.
Pengamatan dokter yang dikenal suka mentraktir makan ini, dokter spesialis kandungan, dokter jantung, dan dokter penyakit dalam tidak mau ditempatkan di RSUD Waru Pamekasan.
Sebab mereka menilai insentif yang diberikan oleh RSUD tersebut tidak pantas.
“Mereka menilai insentif yang diberikan hampir sama dengan dokter umum padahal mereka spesialis,” ungkap Yayak.
Yayak juga mengungkapkan, kebanyakan RSUD yang berada di pelosok selalu mengalami kekurangan anggaran kesehatan.
Saran dia, pemecah masalah ini perlu kebijakan dari pemerintah setempat untuk memberikan penambahan anggaran.
“Yang namanya manusia tetap kebutuhan itu sangat diperhitungkan, mereka mau bekerja dimana itu juga jadi perhitungan, hal itu manusiawi dan lumrah, dokter pasti cari di kota, karena pasiennya lebih banyak dan insentifnya lebih jelas di RSUD Kota,” papar Yayak.
“Banyak sebenarnya teman-teman dokter di Pamekasan mau kerja di RSUD Waru, tapi keluhannya mereka insentifnya harus diperhatikan. Jangan hanya orang disuruh kerja, disuruh tugas tanpa insentifnya diperhatikan,” sambungnya.
Yayak juga mencontohkan, di luar negeri, masyakarat yang mau melanjutkan belajar di Universitas Kedokteran dipermudah, dan tidak terlalu diseleksi ketat.
Fenomena ini berbeda jauh dengan penerimaan mahasiswa kedokteran di Indonesia yang sangat ketat.
Mestinya, saran dia, yang harus diseleksi ketat itu saat mahasiwa sudah menjalani proses pembelajaran di dalam kampus.
“Lulusnya harus benar – benar seleksi ketat, kalau masuknya jangan terlalu ketat. Jadi harus dipermudah, dan kursinya harus ditambah misalnya ketika orang daftar rasionya 1 : 100, dengan kursi ditambah rasionya jadi 1 : 30,” sarannya.
Bahkan Yayak juga mengeluhkan di Pamekasan yang mengalami kekurangan dokter, terutama dokter spesialis.
Sementara ini, khusus daerah kota, dokter spesialis dirasa cukup.
Namun khusus daerah pelosok, masih kurang dokter spesialis, terutama di wilayah pantura.
“Di Pamekasan jumlah penduduk sekitar 900 ribu, kalau satu dokter melayani 1000 penduduk, harus ada 900 dokter di Pamekasan,” hitungnya.
Sedangkan kaya Yayak, dokter di Pamekasan saat ini jumlahnya sekitar 150 dokter.
Lain dari itu, penyebab kurangnya dokter di pelosok ini, karena banyak dokter yang ingin bekerja di RSUD kota.
Sementara dokter yang baru lulus biasanya cenderung tidak memikirkan penempatan tersebut.
Namun setelah lama bekerja, biasanya akan merasakan dan berpikir mengenai insentif yang didapat ketika bekerja di RSUD pelosok.
“Karena masalah biaya transportasi yang jauh juga mereka pikirkan,” ucapnya.
Dokter Yayak merinci, setiap tahun yang masuk organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Pamekasan sekitar 12 orang.
Ini terdiri dari dokter umum, dan spesialis.
“Kalau dokter umum di kota Pamekasan cukup. Di daerah pntura masih banyak masyarakat yang berobat ke kota, ini menandakan dokter di wilayah pelosok sangat kurang terutama dokter spesialis,” tegasnya.
Menurut Yayak sangat bahaya ketika suatu daerah kekurangan tenaga medi atau dokter spesialis, sebab akan berdampak pada pelayanan kesehatan yang terganggu dan kurang maksimal.
Ke depan ia menyarankan, program setiap puskesmas terdapat satu dokter Spesialis, meliputi dokter spesialis anak, kandungan, bedah dan penyakit dalam.