Pengarang Budaya Adat : Saipan Petir
Di Bumi 60, segalo bathin menyatu dalam satu tarikan napas adat. Di tanah tempat aku dilahirkan, Rantau Panjang, silek serta bantai kerbau adalah dua pusaka hidup yang tak lekang oleh waktu. Ia bukan sekadar tradisi, tapi marwah yang ditanam dalam jiwa setiap Anak Negeri.
Setiap tahun, ketika Ramadhan menyapa dan Syawal menjemput, kampungku bersilek. Dari penjuru datang orang-orang, berkumpul melihat bantai kerbau sebuah prosesi sakral yang menandai kekuatan adat dan gotong royong. Ratusan kerbau ditambat, lalu disembelih dengan doa dan tata cara yang diwariskan turun-temurun. Ini bukan sekadar pesta daging, tapi penghormatan untuk para pemimpin, penghulu adat, serta bentuk kepedulian terhadap kuhung kampung, dukun, anak yatim, dan ketua hulubalang.
Daging dibagi-bagikan dengan adil, sesuai garis adat yang tegas namun bijak. Sebab di sini, adat bukan membedakan derajat, tapi menyatukan hati.
Di tengah lapangan terbuka, para pendekar kampung memperagakan silek ilmu warisan nenek moyang. Langkah-langkah tajam dan penuh hormat, gerakan yang menyatu dengan tanah, angin, dan napas leluhur. Silek serta bantai kerbau adalah dua sisi mata uang adat yang menjaga keseimbangan: kekuatan dan kebijaksanaan.
Ketika hari raya kemenangan itu tibo, suasana berubah jadi haru dan syahdu. Di hari pertama dan kedua, kami saling anjangsana berkunjung dari satu rumah ke rumah lainnya, menyalami keluarga dan saudara. Pakaian bahu takuluk, warisan budaya asli Rantau Panjang, dikenakan dengan penuh bangga. Warna-warninya seakan berbicara tentang jati diri kami sebagai Anak Negeri yang menjunjung tinggi adat, menghargai leluhur, dan menjaga harmoni dalam keberagaman.
Lalu tibalah hari-hari selanjutnya. Detu gendang, tabuh gong bergema dari balai adat, seakan memanggil anak-anak negeri untuk berkumpul. Ini bukan hanya seremonial, tapi pesta milik kita semua pesta ragam budaya, tempat bersatunya darah dan batin. Di Margo Batin Limo, semua berdiri sejajar dalam kebanggaan, menjaga warisan dari zaman ke zaman.
Para guru silek laman bupaha baso melaksanakan pertunjukan silek bersama anak negeri. Pacu perahu pun menghiasi sungai, disambut riuh tawa anak-anak kampung. Ada hiburan rakyat, tarian, dan gelak bahagia yang meriah.
Puncaknya digelar di gelanggang Rumah Tuo. Di sanalah diadakan Silek Panyudon, pertunjukan sakral penutup Rayo. Hadir para bupati, pejabat daerah, tokoh adat, hingga Pak Camat. Di bawah cahaya matahari senja, silat terakhir ditarikan bukan untuk menang, tapi untuk mengenang.
Inilah dusun kami Rantau Panjang. Tempat di mana silek serta bantai kerbau bukan sekadar tontonan, tapi nyawa dari adat dan kehormatan. Tempat di mana tanah bukan sekadar pijakan, tapi nadi kebanggaan.